Kerajaan Kutai

 A. Letak Kerajaan Kutai 

Kerajaan Kutai mempunyai kehidupan politik secara turun temurun, dalam arti kepemimpinan akan selalu diteruskan oleh anak, cucu sampai cicit dan sistem pemerintahan tersebut sudah berjalan sejak Kerajaan Kutai dipimpin oleh Aswawarman. Akan tetapi, pemerintahan masih di kuasai oleh orang Hindu yang berasal dari India sehingga sistem berjalan dengan sistematis dan teratur. Sementara untuk wilayah kekuasan Kerajaan Kutai mempunyai wilayah yang sangat luas yang mencakup 3 Kabupaten yakni Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Kutai Timur yang semuanya masih masuk dalam Provinsi Kalimantan Timur.

Peta Kerajaan Kutai Hindu (Martadipura)

Sementara kehidupan budaya dari Kerajaan Kutai merupakan kebudayaan Hindu yang bisa dilihat dari penemuan Kalung Siwa di sekitar Danu Lipan kawasan Kaman. Selain itu, pada penelitian yang dilakukan tahun 2001 yang lalu ditemukan beberapa lukisan di dinding goa kawasan Gunung Marang yang ada di 400 km sebelah Utara Kota Balikpapan. Selain itu, ditemukan juga artefak seperti reruntuhan Candi berupa gerabah, peripih, manik manik, keramik, patung perunggu dan beberapa artefak lainnya.

Lukisan tangan di goa Tewet, Pegunungan Marang, Kutai Timur.

B. Kehidupan Sosial Kerajaan Kutai

Untuk kehidupan sosial, masyarakat serta keagamaan Kerajaan Kutai memakai bahasa Sansekerta yang dipakai juga menjadi bahasa resmi untuk masalah agama. Sedangkan untuk mata pencaharian masyarakat Kerajaan Kutai adalah ternak sapi dan juga beberapa pekerjaan lain seperti bercocok tanam serta berdagang. 

Sebuah Yupa (prasasti) yang di temukan di daerah Kutai, menggunakan bahasa Sanskerta atau huruf Palawa.

Karena berada di tepi sungai Mahakam, maka  tanah Kerajaan Mataram menjadi subur dan cocok digunakan untuk bercocok tanam. Masyarakat juga kemudian mulai bekerja sebagai pedagang dna sudah menjalin hubungan dagang baik dengan beberapa negara seperti India serta China yang berlayar melewati Selat Malaka. Pada saat melakukan pelayaran, para pedagang dari banyak negara akan singgah lebih dulu di daerah Kutai lalu melakukan transaksi jual beli barang sekaligus menyiapkan bekal untuk perjalanan jauh dan inilah yang membuat Kerajaan Kutai bisa hidup dengan sangat makmur, sejahtera dan damai.

Sedangkan raja terakhir dari Kerajaan Kutai yang menyebabkan Kerajaan Hindu ini runtuh adalah pada masa pemerintahan Maharaja Dharma Setia yang tewas terbunuh oleh Raja Kerajaan Kutai Kartaneagara ke-13 yakni Aji Pangeran Anum Panji Mendapa dan mulai sejak itu, Kerajaan Kutai berevolusi menjadi Kerajaan Islam yang diberi nama Kesultanan Kutai Kartanegara.

C. Raja-Raja Kerajaan Kutai

1. Kudungga

Kudungga yang adalah raja pertama dari Kerajaan Kutai tetapi apabila dilihat maka nama tersebut sangat kental dengan nuansa lokal dan ahli sejarah berpendapat jika saat ia berkuasa, pengaruh dari Hindu baru saja masuk ke wilayah Nusantara. Pada awal, kemungkinan Kudungga adalah seorang kepala suku yang saat mulai masuk pengaruh dari Hindu, maka ia langsung merubah sistem pemerintahan menjadi kerajaan dan mengangkat dirinya menjadi seorang raja.

2. Raja Aswwarman

Raja Aswwarman adalah keturunan dari Kudungga yang terkenal dengan sebutan Dewa Ansuman atau Dewa Matahari. Raja Aswwarman juga dikenal sebagai pendiri dari Kerajaan Kutai sehingga mendapat gelar Wangsakerta dengan arti pembentuk keluarga. Pada Prasasti Yupa juga disebutkan jika Raja Aswwarman adalah seorang raja yang kuat dan juga cakap sehingga Kerajaan Kutai bisa semakin luas dan ini dibuktikan dengan pelaksanaan upacara Asmawedha.

3. Raja Mulawarman

Mulawarman merupakan sosok raja terbesar yang berpengaruh di Kerajaan Kutai dan merupakan cucu dari Kudungga serta anak Aswawarman. Ia bahkan juga dijadikan sebagai ikon dari Kerajaan Kutai.

D. Peninggalan Bersejarah Kerajaan Kutai

Setelah mengetahui tentang sejarah singkat dari Kerajaan Kutai, berikut ini akan kami sampaikan beberapa peninggalan dari Kerajaan Kutai yang masih bisa dilihat hingga sekarang di Museum Nasional Jakarta dan juga Museum Mulawarman, Tenggarok , Kutai Kartanegara. 

1. Prasasti Yupa

Prasasti Yupa merupakan salah satu dari peninggalan Kerajaan Kutai tertua dan benda ini menjadi bukti sejarah dari Kerajaan Hindu di Kalimantan tersebut. Ada 7 prasasti Yupa yang masih bisa dilihat hingga kini. Yupa merupakan tiang batu yang dipakai untuk mengikat kurban hewan ataupun manusia yang dipersembahkan pada para Dewa dan pada tiang batu tersebut terdapat tulisan yang dipahat. Tulisan-tulisan tersebut ditulis memakai bahasa sansekerta atau huruf Pallawa. Namun dari ketujuh Prasasti Yupa tersebut tidak ada yang disertai dengan tahun pembuatannya sehingga tidak diketahui dengan pasti tanggal pembuatan prasasti tersebut.

7 Prasasti (Yupa) peninggalan Kerajaan Kutai

Prasasti Yupa berisi tentang kehidupan politik. Pada prasasti pertama menceritakan tentang raja pertama Kerajaan Kutai yakni Kudungga yang merupakan nama asli Indonesia dan memperlihatkan jika ia bukan pendiri dari keluarga kerajaan. Pada Yupa juga tertulis jika di masa pemerintahan Asmawarman, di Kerajaan Kutai mengadakan upacara Aswamedha dan ini adalah upacara pelepasan kuda sebagai penentu batas wilayah Kerajaan Kutai. Kudungga memiliki seorang putra terkenal bernama Aswawarman dan ia mempunyai 3 orang putra terkenal persis seperti tiga api suci.

Dari ketiga putranya tersebut, Mulawarman menjadi anak yang paling terkenal karena sangat tegas, kuat sekaligus sabar dan mahar untuk raja dipersembahkan kurban Bahu Suwarnakam. Di masa pemerintahan Raja Mulawarman, Kerajaan Kutai mencapai masa keemasan dan sesudah pemerintahannya, tidak diketahui lagi siapa saja raja yang memerintah karena sumber sejarah yang sangat terbatas. Mulawarman diabadikan dalam salah satu Yupa sebab rasa dermawan yang dimilikinya sangat tinggi dengan mempersembahkan 20 ribu ekor sapi pada kaum Brahman dan ia dikatakan sebagai cucu dari Kudungga atau anak Aswawarman yang keduanya juga dipengaruhi oleh budaya India.

Sementara isi Prasasti Yupa mengenai kehidupan sosial diketahui jika abad ke-4 Masehi, di Kerajaan Kutai masyarakat Indonesia sudah banyak menganut agama Hindu sehingga pola pengaturan kerajaan juga sudah sangat teratur seperti pemerintahan kerajaan di India. Ini memperlihatkan jika kehidupan sosial pada masa Kerajaan Kutai sudah berkembang mengikuti jaman dan masyarakat Indonesia juga sudah mulai menerima unsur dari india kemudian dikembangkan menyesuaikan dengan tradisi yang ada di Indonesia. Saat Raja Mulawarman memberikan hadiah berupa seribu ekor lembu dan juga 1 batang pohon kelapa pada Sang Brahmana yang berbentuk seperti api pada tempat pengorbanan di tempat yang sudah diberkati yakni Vaprakeswara karena budi baiknya tersebut maka tiang upacara peringatan dibuat oleh para pendeta yang berkumpul disitu.

Isi Prasasti Yupa mengenai aspek kehidupan berbudaya di kebudayaan masyarakat Kutai sangat erat dengan agama yang mereka anut dan prasasti Yupa tersebut merupakan hasil budaya dari masyarakat Kutai, tugu batu tersebut adalah warisan budaya nenek moyang bangsa Indonesia pada jaman Meghalitikum yakni kebudayaan Menhir. Pada salah satu Prasasti Yupa disebutkan tempat suci dengan Vaprakecvara yang merupakan lapangan berukuran luas sebagai tempat pemujaan dewa Siwa dan memperlihatkan jika agama Hindu yang dianut adalah Hindu Siwa. Ini semakin diperkuat karena pengaruh besar dari Kerajaan Pallawa yang juga beragam Siwa serta peran penting Brahmana di Kerajaan Kutai juga sangat besar seperti peranan Brahmana pada agama Siwa.

Bukti lain yang memperlihatkan kejayaan Kerajaan Kutai dari segi ekonomi adalah tertulis di dalam salah satu Yupa, jika Raja Mulawarman sudah sering menggelar upacara korban emas yang sangat banyak dan juga terlihat dari munculnya golongan terdidik. Golongan terdidik ini terdiri dari kesatria dan juga brahmana yang diprediksi sudah melakukan perjalanan jauh sampai ke India dan juga beberapa tempat penyebaran agama Hindu di kawasan Asia Tenggara. Kaum ini mendapatkan kedudukan serta perilaku yang terhomat pada sistem pemerintahan Kerajaan Kutai.

Sedangkan isi Yupa yang menceritakan tentang kehidupan agama menjelaskan jika Kerajaan Kutai, agam Hindu sangat berkembang khususnya pada masa pemerintahan Raja Asmawarman. Perkembangan agama Hindu di Kerajaan Kutai ditandai dengan tempat suci bernama Waprakeswara yang merupakan tempat suci untuk menyembah Dewa Syiwa. Walau agama Hindu adalah agama resmi dari Kerajaan Kutai, namun hanya berkembang di wilayah istana saja, sementara masyarakat Kutai masih memakai kebudayaan asli mereka dan menganut kepercayaan Kaharingan.

Kaharingan merupakan kepercayaan yang dianut masyarakat asli Dayak yaitu menyembah Ranying Hatalla Langit yang sudah menciptakan alam semesat dan penganut Kaharingan juga menggelar upacara pembakaran mayat seperti Ngaben dalam agama Hindu sehingga pada tanggal 20 April 1980, Kaharingan masuk ke dalam bagian agama Hindu.

2. Ketopong Sultan

Ketopong merupakan mahkota Sultan Kerajaan Kutai yang terbuat dari emas dengan bobot 1.98 kg yang sekarang tersimpan di Museum Nasional Jakarta. Ketopong Sultan Kutai ini ditemukan pada tahun 1890 di daerah Muara Kaman, Kutai Kartanegara, sementara yang dipajang di Museum Mulawarman merupakan Ketopong tiruan. 

Mahkota ini pernah dipakai oleh Sultan Aji Muhammad Sulaiman dari tahun 1845 sampai 1899 dan juga dikenakan oleh Sultan Kutai Kartanegara, selain terbuat dari emas, mahkota ini juga dilengkapi dengan permata.

Ketopong berbentuk mahkota brunjungan dan pada bagian muka berbentuk meru bertingkat berhias motif spiral dikombinasikan dengan motif sulur. Pada bagian belakang mahkota terdapat hiasan berbentuk garuda mungkur berhias motif bunga, burung dan kijang. Carl Bock yang merupakan penulis dan juga penjelajah, dalam bukunya yang berjudul The Head Hunters of Borneo menulis jika Sultan Aji Muhammad Sulaiman mempunyai 6 sampai 8 orang pengukir emas yang secara khusus membuat ukiran emas serta perak untuk Sultan.

3. Kalung Ciwa

Peninggalan Kerajaan Kutai selanjutnya adalah kalung ciwa. Kalung Ciwa merupakan peninggalan berikutnya dari Kerajaan Kutai yang berhasil ditemukan di masa pemerintahan Sultan Aji Muhammad Sulaiman pada tahun 1890 oleh salah satu penduduk sekitar Danau Lipan, Muara Kaman. 

Kalung Ciwa sampai saat ini masih dipergunakan untuk perhiasan kerajaan dan sudah pernah dipakai Sultan pada masa penobatan Sultan yang baru.

4. Kalung Uncal

Kalung Uncal merupakan kalung yang terbuat dari emas seberat 170 gram berhiaskan liontin dengan relief cerita Ramayana. Kalung ini digunakan sebagai atribut Kerajaan Kutai Martadipura dan dipakai oleh Sultan Kutai Kartanegara sesudah Kutai Martadipura berhasil ditaklukan. Dari penelitian yang sudah dilakukan, Kalung Uncal berasal dari india dengan nama Unchele dan masih ada 2 Kalung Uncal di dunia yang berada di India dan juga di Museum Mulawarman, Kota Tenggarong. Kalung ini berbentuk buklat dengan panjang 9 cm yang terbuat dari emas 18 karat. Pada kalung ini juga terdapat ukiran Dewi Sinta serta Sri Rama yang sedang memanah babi. Selain itu juga terdapat 4 buah bulatan dan 2 diantaranya dihiasi dengan batu permata. Kalung ini juga menjadi penentu sah atau tidaknya pelantikan Raja Kutai.

Ada 2 kali Raja Kutai bisa memakai Kalung Uncal ini yaitu pada saat penobatan dan juga pernikahan dan tidak ada satu orang pun yang boleh memakai kalung ini selain Sultan atau Raja. Saat kalung akan dikeluarkan, maka dilakukan prosesi ritus tertentu seperti bakar kemenyan dan juga membacakan matra yang disebut dengan basawai. Konon dikabarkan jika Kalung Uncal yang berasal dari India ini hanya ada sebanyak 2 pasang di dunai sebab hanya digunakan oleh Sri Rama dan juga Dewi Shinta. Pada saat Sri Rama bisa merebut kembali Dewi Shinta istrinya dari Rahwana, maka ia menjadi ragu apakah istrinya tersebut masih suci dan belum diganggu oleh Rahwana. Kecurigaan Sri Raman ini beralasan, sebab Kalung Uncal yang menjadi lambang kesucian sudah hilang dari leher Dewi Shinta.

Dewi Shinta merasa maklum dengan keraguan dari Sri Rama suaminya tersebut, namun meskipun kalungnya sudah hilang, dirinya masih tetap suci dan untuk membuktikannya, ia minta dibuatkan api unggun paling besar untuk membakar dirinya untuk membuktikan jika ia masih suci dan jika ia memang sudah ternoda, maka ia mengatakan jika akan mati ditelan oleh Dewi Agni yang merupakan Dewi Api. Rakyat Ayodiapala lalu mewujudkan permintaan tersebut, saat api dinyalakan dihadapan Sri Rama dan juga pembesar Kerajaan Ayodiapala, Sinta naik ke tangga menara yang sudah disiapkan. Saat sampai diatap menara, ia pun berkata pada suaminya jika meski kalungnya sudah hilang namun ia masih suci dan jika memang ia sudah ternoda, maka ia akan hangsu terbakar Dewi Agni. Akan tetapi jika tidak, maka kanda melihat aku kembali pada kanda dan Dewi Shinta pun terjun ke dalam api yang berkobar.

Shinta lalu ditelan kobaran api dan tidak terlihat, akan tetapi beberapa saat kemudian, muncul dari api sebuah singgasana yang naik dengan perlahan dan berhenti di depan Sri Rama dan terlihat Dewi Shinta duduk sambil tersenyum memandang Sri Rama. Kalung ini dikatakan merupakan kepunyaan dari Ratu Kudungga yakni ratu di India dan dari cerita, jika kalung ini belum bisa menyatu dan kembali berdampingan, maka selama itu juga India tidak bisa hidup dengan tenteram, makmur serta damai. Bencana akan selalu melanda negeri tersebut dan juga kelaparan, perang serta kemiskinan juga tidak akan pernah berhenti dan inilah yang dipercaya oleh masyarakat India.

5. Kura Kura Emas

Kura kura emas juga merupakan peninggalan dari Kerajaan Kutai yang sekarang disimpan di Museum Mulawarman dengan ukuran setengah kepalan tangan. Dari label yang tertera dalam etalase, benda ini ditemukan di daerah Long Lalang yang merupakan daerah di hulu sungai Mahakam.

Benda ini dikatakan merupakan persembahan dari pangeran kerajaan di Cina untuk putri Raja Kutai yakni Aji Bidah Putih. Pangeran memberikan beberapa benda unik lainnya untuk kerajaan, sebagai bukti kesungguhannya yang ingin mempersunting putri.

Kura kura emas ini dibuat dari emas 23 karat dengan bentuk kura kura yang juga digunakan sebagai upacara penobatan Sultan Kutai Kartanegara. Kura kura ini menjadi simbol penjelmaan Dewa Wisnu.

6. Pedang Sultan Kutai

Peninggalan Kerajaan Kutai selanjutnya adalah pedang sultan kutai. 

Pedang Sultan Kutai terbuat dari emas padat dan pada bagian gagang diukir gambar seekor harimau yang sedang siap untuk menerkam, sedangkan pada ujung sarung pedang berhiaskan seekor buaya dan kini pedang Sultan Kutai disimpan di Museum Nasional Jakarta.

7. Tali Juwita

Tali Juwita merupakan peninggalan dari Kerajaan Kutai yang mewakilkan simbol 7 muara serta 3 anak sungai yakni sungai Kelinjau, Belayan dan juga Kedang Pahu di Sungai Mahakam. 

Tali Juwita ini dibuat dari 21 hela benang dan biasanya dipakai pada upacara adat Bepelas.

Utasan tali ini terbuat dari emas, perak dan juga perunggu dengan hiasan 3 bandul berbentuk gelang dan 2 buah permata mata kucing serta barjat putih dan untuk bandul lain berbentuk lampion dengan hiasan 2 bandul berukuran kecil. Tali Juwita ini berasal dari kata Upavita yaitu kalung yang diberikan pada raja.

8. Keris Bukit Kang

Keris Bukit Kang merupakan keris yang digunakan Permaisuri Aji Putri Karang Melenu yang merupakan permaisuri Raja Kutai Kartanegara pertama. 

Dari cerita legenda, sang permaisuri merupakan putri yang ditemukan pada sebuah gong yang hanyut di atas balai bambu dan di dalam gong tersebut tidak hanya ada seorang bayi perempuan, namun juga ada sebuah telur ayam dan keris yakni Keris Bukit Kang tersebut.

9. Kelambu Kuning

Ada beberapa benda yang merupakan peninggalan dari Kerajaan Kutai yang dipercaya mempunyai kekuatan magis oleh adat Kutai sampai sekarang dan ini semua disimpan dalam kelambu kuning agar terhindar dari bala serta tuah yang dihasilkan.

Beberapa benda yang disimpan dalam Kelambu Kuning ini diantaranya adalah Sangkoh Paitu, Gong Bende, Arca Singa, Tajau, Kelengkang Besi, Gong Raden Galuh dan juga Keliau Aji Siti Berawan.

10. Singgasana Sultan

Singgasana Sultan menjadi peninggalan Kerajaan Kutai yang masih dilihat hingga sekarang dan disimpan dalam Museum Mulawarman.  

Singgasana ini dulunya dipakai oleh Sultan AjimUhammad Sulaiman, Sultan Aji Muhammad Parikesit dan juga beberapa raja dari Kerajaan Kutai sebelumnya. Pada singgasana Sultan ini juga dilengkapi dengan umbul-umbul, kelambu serta peraduan pengantin Kutai Keraton.

11. Meriam

Meriam ini dulunya dipakai untuk pertahanan Kerajaan Kutai yang berjumlah sebanyak 4 buah dan masih terjaga hingga sekarang. 

Keempat meriam tersebut adalah Meriam Aji Entong, Meriam Sapu Jagat, Meriam Gentar Bumi dan juga Meriam Sri Gunung.

12. Keramik Kuno Tiongkok

Berbagai keramik kuno yang menurut perkiraan berasal dari dinasti kekaisaran Cina juag ditemukan pada timbunan dekat Danau Lipan. Ini menjadi sebuah bukti, jika Kerajaan Kutai dan juga Kekaisaran China sudah melakukan hubungan perdagangan yang bagus dari sejak dulu. 

Ratusan Keramik Kuno Tiongkok ini menjadi peninggalan dari Kerajaan Kutai yang disimpan pada ruang bawah tanah Museum Mulawarman Tenggarong, Kutai Kartanegara.

13. Gamelan Gajah Prawoto

Seperangkat gamelan juga disimpan pada Museum Mulawarman dan gamelan gamelan tersebut diyakini berasal dari Pulau Jawa. 

Selain itu, juga ada berbagai barang lain seperti pangkon, keris, topeng, wayang kulit dan beberapa barang yang terbuat dari kuningan serta perak yang menjadi peninggalan dari Kerajaan Kutai yang juga menjadi bukti hubungan erat terjalin antara Kerajaan di daerah Jawa dengan Kerajaan Kutai Kartanegara.

14. Tombak Kerajaan Majapahit

15. Arca Lembuswana

 

Arca Lembuswana, peninggalan Kerajaan Kutai

Demikian ulasan lengkap yang bisa kami berikan kali ini tentang peninggalan Kerajaan Kutai. Semoga bisa bermanfaat dan menambah informasi kamu seputar sejarah Kerajaan di Indonesia.

Setelah membaca materi di atas silahkan untuk mengisi lembar kerja dan absen di bawah ini.

Terima Kasih